Congrock 17, Wujud Reinkarnasi Musik Keroncong

            Dapatkah pemuda zaman sekarang
mengangguk-anggukkan kepala ketika mendengar musik keroncong? Mungkinkah
mengenal tokoh-tokoh yang aktif di bidang perkeroncongan? Atau cukup tahu saja
apa dan bagaimana musik keroncong itu?
doc. internet

          Ada beberapa hal
yang membuat pertanyaan itu susah untuk dijawab. Pertama, eksistensi musik
keroncong—yang tidak dapat dipungkiri–mengalami kemunduran.
Di
kota Semarang sendiri, sajian musik keroncong hanya dapat dinikmati setiap Rabu.
Minggu pertama, musik keroncong dapat dinikmati
melalui Radio Republik Indonesia (RRI). Kemudian Rabu minggu
kedua
, giliran 
Taman Budaya Sobokarti yang menyelenggarakan pagelaran musik keroncong. Minggu
ketiga
, pertunjukan musik keroncong hanya dapat
dijumpai di Museum Ronggowarsito. Selanjutnya, Taman KB pun turut menjadi saksi
kembang-kempisnya kehidupan musik keroncong di Rabu minggu terakhir Apalagi kita
semua sama-sama tahu bahwa di media massa—tv, radio, dan internet—porsi genre
musik non-mainstream tidaklah seberapa.Jika dalam jangka waktu satu bulan hanya
ada empat hari saja musik keroncong diperdengarkan di ruang publik,, maka  wajar jika kemudian pemuda zaman sekarang
lebih mafhum sederetan nama DJ yang tampil di bar-bar dari pada nama
penyanyi keroncong.

Alasan kedua, (mungkin) karena musik keroncong sudah terlalu tua. Konon,
musik warisan dari ekspedisi Portugis pada tahun 1512 yang dipimpin oleh
Alfonso de Albuquerque ini terkesan hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang
telah lanjut usia. Seperti lagu Ning Tawang Ono Lintang, Bengawan
Solo
, dan Impenku. Padahal, jika ditilik dari segi makna,
musik-musik keroncong bersifat universal, makna-makna nasihat, dan tidak
pandang usia. Maka dari itu, musykil rasanya musik keroncong akan tetap
lestari, jika tak dibarengi dengan kesadaran diri sendiri untuk tidak melupakan
warisan sejarah.
Alunan nada musik keroncong yang halus, mendayu—seolah  cocok untuk dijadikan pengantar tidur pun turut
menjadi alasan mengapa musik keroncong
jarang diminati anak-anak muda. Istilah  pemuda
yang seakan mengandung siratan makna ener
jik, penuh gagasan dan pemikiran—merasa
musik-musik impor seperti The Beatles-lah yang pas sebagai mood booster
mereka, atau bagi pemuda yang mengagungkan keromantisan memilih lagu milik John
Legend, bahkan mungkin yang hatinya penuh sembilu lebih memilih lagu Adele
untuk didengar—ketimbang lagu-lagu keroncong sebagai penghibur.
Menghadapi
tantangan eksistensi keroncong
, ibarat embusan angin segar, muncullah
grup Congrock 17.
Congrock 17 merupakan grup musik yang masih menunjukkan eksistensinya
membawakan lagu-lagu bertajuk musik keroncong
yang dibawakan ala rocker. Grup musik yang terbentuk sejak tahun 80-an
itu merupakan bukti bahwa pemuda memang seyogyanya memiliki gagasan strategis
ketika mengahadapi suatu permasalahan. Menurut mereka, mengombinasikan antara
musik keroncong dan rock merupakan langkah
alternatif untuk mempertahankan musik keroncong.
Grup musik gawangan Hari Joko ini memang sempat ditentang karena dianggap
menyelewengkan musik keroncong dari
jalur asalnya. Namun, konon setelah mendapat
restu dari penggiat musik keroncong—Waljinah, mereka semakin memantapkan
langkahnya untuk mengembangkan musik keroncong walaupun dengan cara
menggabungkannya dengan musik rock. Mereka bahkan pernah mendapat
penganugerahan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) karena dianggap
memiliki aliran musik yang unik. Hari Joko berujar tentang alur musiknya, Kita mau buktiin
bahwa keroncong itu nggak bikin ngantuk”.
 Di satu sisi pengukuhan genre musik
itu sangat diperlukan—agar tidak timbul kesangsian dan menunjukkan adanya
konsistensi. Namun, di sisi lain jika musik keroncong itu tidak dimodifikasi,
kemungkinan punahnya akan lebih besar. Menurut hemat saya, Congro
ck 17 adalah salah satu bukti kedinamisan serta
wujud reinkarnasi musik keroncong yang sangat perlu diapresiasi.

(Nurul Maulina W Z)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top