Tentang “Janeng”, Aset Seni Kebumen

Kebumen merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang (mungkin)
terdengar
tidak seakrab kota-kota lain di
Jawa
Tengah.
Kota ini bisa jadi tidak seterkenal Jepara dengan seni ukirnya, atau Magelang
dengan Borobudur-nya.
Meskipun begitu, pada kenyataannya Kebumen memiliki potensi kesenian dan pariwisata yang berpotensi untuk dikembangkan. Salah satu kesenian tradisional
khas Kebumen adalah musik Janeng yang
seiring zaman, sayangnya,
semakin
dilupakan
.
            Janeng merupakan suatu bentuk
perpaduan dari alat musik tradisional yang memiliki syair-syair bernafaskan
Islam. Nama janeng diambil dari penemu musik janeng itu sendiri yaitu Kyai Zamzami. Akan tetapi,
kesulitan orang Kebumen dalam mengucapkan huruf ‘z’ dan disebarkan secara
turun-temurun maka mengalami pergeseran kata menjadi
jamjaneng. Hingga saat ini orang lebih akrab menyebutnya Janeng.
            Pada awalnya musik janeng memiliki
fungsi yang sama dengan wayang kulit yang terkenal pada zaman walisongo, yaitu
sebagai sarana dakwah Islam. Hal ini dikarenakan masyarakat zaman itu lebih
mudah menerima pencerahan agama dalam bentuk hiburan. Akan tetapi, semakin lama
musik janeng mulai bergeser fungsi menjadi sarana hiburan di acara-acara
perkawinan, khitanan, dan peringatan hari besar.
            Musik janeng pertama kali dikenalkan
di desa Dorowati. Ada tokoh yang berpendapat bahwa janeng terbentuk sekitar
abad ke-7 semasa pemerintaha
n kerajaan Demak. Janeng pertama kali dikenalkan oleh Kyai
Zamzami yang merupakan seorang tokoh
Islam yang berasal dari daerah Gunungkidul, Yogyakarta. Kyai
Zamzami menjadikan janeng sebagai sarana dakwahnya bersama murid-muridnya yang
dimulai dari arah timur, yaitu Yogyakarta, ke arah barat, yaitu Kebumen hingga
Magelang. Namun, saat ini kesenian Janeng di Magelang sudah tidak dikenal lagi.
Janeng lebih dikenal sebagai janen yang
berarti kalimat-kalimat petuah.
          Alat-alat yang digunakan dalam
kesenian janeng tergolong tradisional. Hampir menyerupai alat musik rebana,
janeng memnggunakan alat-alat yang berbahan baku kayu, bambu, dan kulit sapi.
Namun, perbedaannya adalah alat musik janeng cenderung lebih besar. Alat musik
janeng terdiri dari kendhang, gong, tuling, petengah, cemeng, dan keplok.
            Kendhang
merupakan
instrumen janeng yang berbentuk seperti tabung. Kendhang memiliki ruang kosong
sebagai sumber suara
yang kedua sisinya ditutupi dengan membran kulit. Kendhang memiliki diameter
yang berbeda di kedua sisinya. Cara memainkan
nya
adalah dengan cara dipukul pada kedua sisinya.
 Gong merupakan
alat yang terbesar. Gong pada janeng berbeda dengan gong pada rebana. Gong pada
janeng dimainkan dengan tangan, sedangkan gong rebana dipukul dengan
alat
pemukul. Selain itu gong janeng dimainkan dengan cara
dimiringkan, sedangkan rebana digantung. Hanya ada satu gong
yang
digunakan dalam satu set instrumen

janeng.
            Adapula
alat yang mirip dengan gong yakni p
etengah dan cemeng.
Akan tetapi,
petengah lebih kecil dari gong dan cemeng lebih kecil dari petengah. Hanya ada satu petengah dan cemeng dalam musik janeng. Kemudian terdapat alat musik janeng yang
terbuat dari sebatang bambu, thuling.
Alat ini dimainkan dengan cara dipukul bagian tengahnya menggunakan alat
pemukul
khusus. Sedangkan yang terakhir adalah keplok
yang merupaka
n
bagian dari musik janeng namun tidak berwujud alat. Keplok hanya tepukan tangan yang sangat penting dalam musik janeng.
            Dahulu, lagu-lagu yang digunakan
dalam musik janeng adalah syair-syair bernafaskan
Islam. Sebagai contoh yaitu Annabi (solawat nabi). Namun, seiring berkembangnya zaman
seringkali diselingi lagu blederan
(lagu ringan yang bersifat menghibur). Contoh lagu-lagu blederan
antara lain Caping Gunung dan Prau Layar.
            Saat ini, tersisa tiga grup musik
janeng di
desa
Dorowati. Mereka masih seringkali aktif tampil di acara-acara

tertentu
.. Mereka juga melaksanakan latihan seminggu sekali.
Seringkali
alat-alat music modern digunakan sebagai
instrument pelengkap
. Namun, sangat
disayangkan karena anggota dari ketiga grup musik janeng tersebut
rata-rata
sudah berusia lanjut. Jarang sekali anak muda yang
tertarik untuk melestarikan musik janeng.
Oleh karena itu, diperlukan terobosan baru
baik pemerintah maupun masyarakat setempat

untuk menghindari punahnya
kesenian lokal. Jangan sampai janeng nantinya
diklaim negara sana-sini karena kita tidak pernah ngopeni (baca: memelihara).
                       

Oleh: Wahyu Dwi Astuti


 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top