LPM Hayamwuruk
  • Dari Redaksi
  • Agenda
    • Agenda Kampus
    • Agenda Kegiatan
  • Berita
    • Berita Aktual
    • Hawe Pos Aktual
    • Tabloid Hawe Pos
    • Headline
    • Feature
    • Kampus Kita
    • Kabar Hawe
  • Produk HaWe
    • Majalah Hayamwuruk
    • Hawe Buletin
  • Jurnalistik
  • Kolom
  • English Corner
  • Lainnya
    • Sayembara Hawe
    • Lomba Penulisan
    • Beasiswa
    • Lowongan Kerja

Berita Terbaru

Uniknya Rumah Batu di Wonogiri Menyerupai Rumah Patrick Star

Dok. Hayamwuruk Wonogiri ( 1 / 2 /19), Terdapat r umah batu yang menyerupai rumah Patrick Star dalam serial kartun Spongebob Squa...

Terpopuler

  • Angin Berembus dari Selatan
  • [OPINI] Banggakah Kita dengan Bahasa Negara?
  • Home
  • /
  • Berita Aktual
  • /
  • Kabar Kampus
  • / Kemerdekaan dalam Berpendidikan

Kemerdekaan dalam Berpendidikan


Berbicara mengenai represifitas kita tidak terlepas dengan kondisi pendidikan saat ini.



Dokumentasi gambar : kompasiana.com

Tindakan represif muncul ketika kita, mahasiswa, sedang berbicara terkait keresahan  kondisi pendidikan. Hal itu diutarakan oleh Harits Akhmad Muzaki selaku pemantik dalam forum diskusi yang bertajuk ‘Kemerdekaan dalam Berpendidikan’.  Diskusi itu diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dan BEM Fakultas Sains dan Matematika (FSM) di podium FSM Universitas Diponegoro, Kamis (17/8/2017).

Harits menceritakan, tindakan represifitas di Universitas Negeri Semarang (Unnes) berawal dari tahun 2016. Ketika pihak Unnes merasa kaget dengan aksi  (menolak Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI)) yang dilakukan 3000 mahasiswa. Setelah aksi tersebut, kemudian muncul daftar list sekitar sepuluh sampai dua belas mahasiswa yang akan di dropout. Enam orang diantaranya adalah mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi yang juga terancam akan dicabut beasiswanya.

 “Akhirnya teman-teman yang masuk daftar list itu, yang bidikmisi kemudian diancam orang tuanya, lebih memilih bungkam, lebih memilih diam saat itu,” ujar Harits.

Harits menuturkan, kejadian represifitas  terjadi lagi ketika  diskusi tentang kebebasan akademik yang diselenggarakan BEM  Unnes dan bebererapa komunitas  diminta bubar oleh Wakil Dekan bersama polisi Intel dan TNI. Namun, saat itu mahasiswa tetap menjalankan diskusi. Karena mereka beranggapan bahwa diskusi yang dilakukan masih dalam tahap ranah memperkaya ilmu dan tidak menyebarkan paham yang menyimpang.

Harits juga menceritakan kriminalisasi yang menimpa dirinya, terjadi ketika dia memposting pembuatan piagam penghargaan (piagam sindiran soal Uang Kuliah Tunggal (UKT)) untuk Menristekdikti dengan didasari atas kajian mahasiswa Unnes. Setelah melakukan perbuatan tersebut, dia  dikriminalisasi dengan dihadapkan pada dua permasalahan yakni tim kode etik Unnes dan  pihak kepolisian.


Dokumentasi gambar : suara merdeka.com

Tekanan yang menimpa dirinya bertambah ketika orang tuanya yang berada di rumah (Cilacap), dipanggil secara tiba-tiba oleh pihak kampus untuk menemui Dekan pada tanggal 2 Agustus 2017. Karena tidak adanya pilihan lain dan atas permintaan orang tua, dia menandatangani surat permintaan maaf kepada Rektor Unnes.

Selang beberapa hari kemudian, dia beserta kedua orangtuanya diundang kembali oleh Rektor Unnes dalam acara coffe morning. Ia menjelaskan kalau acara itu sebenarnya dibuat untuk menggiring opini publik, bahwa yang bersalah adalah mahasiswa.

“Saya menganggap bahwa permintaan maaf itu adalah ketika rektor, dalam hal ini menganggap apa yang saya lakukan adalah salah, maka saya minta maaf. Tetapi saya menganggap bahwa perlakuan atau perbuatan saya itu tidak bersalah” ujarnya.

Harits menambahkan, semenjak adanya kasus yang menimpa dirinya, dalam Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) Unnes terdapat penambahan materi etika bermedia sosial, untuk membuat mahasiswa diam.



Sependapat dengan itu, Mahesa Althof Prakasa, mengatakan untuk mengajak mahasiswa baru peduli dengan kondisi kampus. Dengan mengatur buku biru yang telah disusun oleh bagian PSDM (Pengabdian Sumber Daya Manusia) himpunan dan juga BEM tiap fakultas.

“Buku biru itu mengatur kemahasiswaan, kaderisasi, jadi termasuk didalamnya PMB. Materi-materinya apa saja, bagaimana teknik menyampaikannya, medianya apa, bahkan sampai ice breakingnya sampai didiskusikan,”ucapnya

Senada dengan itu, Jonris P.Nainggolan, Kepala Divisi Kaderisasi BEM Undip menuturkan, di tahun ini terdapat penambahan materi dalam buku panduan kaderisasi, yakni dengan memasukkan kaderisasi politik.

 “Tahun ini buku panduan kaderisasi kita revisi dan saya bertekad untuk buku panduan kaderisasi kita masukkan kaderisasi politik,” ucapnya.

Jonris menuturkan dengan adanya kaderisasi politik ini, harapannya membuat mahasiswa baru diperbolehkan diajak untuk mengkritisi kebijakan yang ada di kampus.

“Di buku panduan kaderisasi sudah diatur bahwa dikaderisasi politik kepada mahasiswa baru kita boleh masuk ke sana, untuk mengenai politik-politik, mengenai kebijakan kampus, mengenai kebijakan organisasi, mengenai kebijakan birokrasi, kita bebas untuk melaksanakan itu di Undip,” tambahnya. 

(HW/Ulil)

Info :

Ditulis oleh : LPM Hayamwuruk

Waktu Penulisan : Senin, Agustus 21, 2017

Kategori : , Berita Aktual, Kabar Kampus

Share :

Share
Posting Lebih Baru
Posting Lama

silakan sampaikan komentar anda. ini adalah forum bebas tapi bertanggungjawab. komentar tidak dimoderasi, namun jika ada komentar yang "spam" akan dihapus kemudian. terima kasih.

Majalah Hayamwuruk

Buletin

Lingkar Pers Undip

  • LPM Edents
  • LPM Gema Keadilan
  • LPM Manunggal
  • LPM Momentum
  • LPM OPINI
  • LPM Publica Health

Subscribe

Ikuti kami di media sosial :

  • Agenda Kegiatan (22)
  • Berita Aktual (140)
  • Kabar Kampus (175)
  • Seputar Semarang (61)
  • Buku
  • Cerpen
  • Resensi
  • Sajak

Label

  • Edisi Culture Studies
  • English Corner
  • Feature
  • Kolom dan Opini

Label

  • Dari Redaksi
  • Ilmu Jurnalistik
  • Pers Release
  • Surat Pembaca
Copyright 2018 - LPM Hayamwuruk FIB Undip