Ketika Syariat Dipertaruhkan

Kisah para Penjaga Rumah Tuhan

Oleh Wiwik Hidayati
Reporter Fairus Failasuf

Masjid yang terletak di jalan Kusumawardhani, Pleburan, terlihat sepi. Beberapa orang sedang berkumpul di serambi depan masjid. Pemandangan seperti ini sudah tak asing lagi. Masjid ini sering dijadikan tempat pertemuan dan diskusi keagamaan oleh masyarakat sekitar. Kebanyakan mereka adalah mahasiswa.

Masjid itu bernama “Al Istiqomah”. Orang sekitar biasa menyebutnya Istiqomah. Saya menuju serambi sebelah kiri, menghampiri Syahrizal Faza. Ia adalah satu dari lima takmir masjid, pengurus masjid, Istiqomah. Saat ini ia tengah menyelesaikan studinya di DIII Komunikasi Fisip Undip sejak tahun 2003. Ia mengenakan sarung dan peci bundar. Kami pun terlibat perbincangan.

Faza pertama kali menjadi takmir masjid Istiqomah atas tawaran dari seorang teman yang telah lebih dulu menjadi takmir di masjid (pengurus masjid, Red) ini. Ia biasa memanggilnya mas Karman. Sedangkan Karman sendiri ingin keluar dari sana karena sedang sibuk membuat skripsi. Jadi, Faza menggantikan Karman sebagai takmir di masjid Istiqomah.

Tapi, alasan kuat datang dari nalurinya. “Sebenarnya dulu, semenjak pertama kali menginjakkan kaki di Semarang, saya ingin menjadi pengurus Remaja Masjid,” katanya. Sebelum jadi seorang takmir di masjid ini, waktunya dihabiskan di masjid dekat kosnya, daerah Pleburan, yakni Masjid Baitunnaim.

Motivasinya menjadi seorang remaja masjid karena ingin mendapat pahala dan berkah dari Allah SWT dari kegiatannya memakmurkan masjid. Selain itu, agar bisa mendapatkan tambahan pengetahuan agama yang jarang didapatkan oleh rekan-rekan lainnya.

Adakah manfaat lainnya?

“Untuk diri sendiri tentunya, dapat meningkatkan amal ibadah saya dan dapat berdakwah menerapkan ilmu pada orang lain. Istilah kasarannya ya ingin berdakwah. Tapi, mungkin untuk berdakwahnya masih berat. Insya Allah sedikit demi sedikit mungkin bisa,” katanya.

Soal interaksi dengan masyarakat luar, Faza merasa nggak ada masalah. Ia mengambil contoh saat perayaan Kurban dan Maulid Nabi. Dalam acara-acara itu, interaksi dengan masyarakat pasti terjadi. “Jadi, kalau primus terkesan tertutup dan kurang berhubungan dengan masyarakat luar, itu salah,” ungkapnya.

Primus (Pria Mushola, Red) adalah sebutan untuk pria yang banyak menghabiskan waktunya di mushola atau di masjid. Orang juga sering menyebutnya Remaja Masjid. Disebut remaja masjid karena rata-rata mereka masih berusia muda. Seperti yang tampak di masjid-masjid di sekitar kampus, rata-rata primus atau remaja masjidnya masih berstatus mahasiswa.

Menurut Faza, ada dua faktor mengapa masyarakat memandang kebanyakan primus tertutup. Faktor dalam primus sendiri dan faktor dari masyarakat. Dari diri primus, biasanya karena sibuk di masjid jadi interaksi dengan masyarakat luar cenderung kurang. Sedangkan dari masyarakatnya, mungkin mereka enggan ke masjid atau memang enggan berinteraksi dengan primus.

Bagaimana interaksinya dengan lawan jenis?

Menurutnya tetap ada batasannya. Itu sudah menjadi prinsip. Dulu, tidak seteratur sekarang. Lebih bisa jaga pandangan. “Ya, alhamdulillah bukannya saya memuji diri saya sendiri ya. Ya naudzubillah kalau saya memuji diri sendiri…”

Berbeda lagi dengan Wahyu Hidayat. Mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi angkatan 2003 USM (Universitas Semarang, Red) ini merasa tidak ada hambatan dalam berhubungan dengan lawan jenis. Asal tidak dibawa ke masjid saja sudah cukup. Meskipun begitu, ia belum berani pacaran.

“Masalahe duwite ki mepet. Disangoni semene nak dinggo pacaran yo entek tho. Tapi, nak wis nduwe duwit akeh yo mungkin iso beda. (Masalahnya uang mepet. Uang saku segini kalau dibuat pacaran ya habis. Tapi kalau sudah punya uang banyak mungkin beda, Red),” jelasnya dengan bahasa Jawa logat Batang yang kental.

Alasan mendasar mengapa dirinya menjadi seorang primus tak jauh beda dengan Syahrizal Faza. “…kanggo nambah ibadahe, luwih kenal karo masyarakate kene (untuk menambah ibadah, lebih kenal sama masyarakat sini, Red),” katanya.

Ia juga merasa sejak jadi takmir masjid, tingkah lakunya semakin baik. “Biasanya kalau di kos omongan itu agak jelek, sedangkan di sini lebih baik disamping ibadahnya juga nambah. Konsekuensinya, paling kalau subuh bangun lebih awal,” akunya.

Alasan lainnya, “Terus terang wae yo Mas. Ning kosku ki banyune kurang ngono lo, dadi aku ning kene kan banyune rodhok gampang. Terus dapat meringankan beban orang tua, kan ora mbayar kos. (terus terang saja ya, Mas. Di kosku itu airnya kurang gitu lho, jadi aku di sini airnya agak gampang. Terus dapat meringankan beban orang tua. Kan nggak bayar, Red).”

Wahyu, sapaan Wahyu Hidayat, adalah takmir masjid Istiqomah. Ia tinggal satu kamar dengan Faza dan kedua takmir lainnya, Haryono dan Sigit. Haryono adalah mahasiswa Ekonomi Undip. Saat ini ia menjadi ketua Rohis (Rohani Islam) di sana. Sedangkan Sigit saat ini bekerja sebagai wiraswasta.

Ukuran kamar itu sekitar 2,5 x 4 meter. Di dalamnya terdapat dua buah lemari, satu buah rak buku yang memanjang memenuhi ruangan di sebelah kiri, dan satu buah TV 14″ inch. Di sebelah kamar itu masih ada satu kamar. Sebelumnya diisi oleh dua takmir, namun sekarang tinggal satu orang. Keduanya adalah warga setempat yang kesehariannya sebagai penarik becak.

Malam itu, saya menemui Wahyu sekitar pukul 20.00 WIB. Ia tengah menonton TV bersama Haryono sambil tiduran. Ia kemudian mengajak saya ngobrol di serambi masjid. Saya iseng menanyakan keberadaan TV itu. Ia mengatakan TV tersebut milik Faza.

“Pak, piye pak nak ning kamar kene ana TV ne. Trus dijawab, o iyo rak apa-apa. La nak ngono aku seneng….(Pak, bagaimana pak kalau di sini ada TV. Kemudian dijawab, o ya tidak apa-apa. Kalau begitu aku suka …., Red)” tuturnya menirukan saat dia dan teman takmir lainnya minta izin ke pengurus masjid itu.

Baik Wahyu maupun Faza, keduanya mengaku didukung oleh orang tua. “Pas kuwi, ibu mrene ndelok-ndelok kene. Jarene panggone apik resik, tapi kuatire ibuku ana hiburane rak; ana kancane rak mengko nak wis ning kene. (saat ibu ke sini, melihat keadaannya. Katanya, tempatnya bersih, tapi yang dikhawatirkan ibuku kalau di sini tak ada hiburannya, terus ada temannya nggak kalau nanti di sini….” ungkap Wahyu.
Tapi, keputusan itu dikembalikan kepadanya. “Ning omah ngomong-ngomong soal kuwi, piye buk enake. Tapi mandang dibalike maneh karo aku, la nak kowe piye? Yo wis sidane tak trimo. (saat di rumah membicarakan soal tadi, bagaimana Bu enaknya. Tapi, dia malah balik bertanya, kalau kamu sendiri bagaimana? Jadinya saya terima, Red),” tambahnya.

Wahyu juga menceritakan pengalamannya selama berinteraksi dengan masyarakat dan takmir di masjid Istiqomah. Menurutnya, watak orang di sana bermacam-macam. Tak jarang yang berwatak keras.

“Terus terang wae Mas, ning kene kuwi kudu kuat mentale lan sembarange. Kudune kuat kabeh, soale takmir ning kene ki akeh-akehe background-ne militer; akeh purnawirawan militer. Dadi watake yo keras-keras. Nak dikon koyo ‘tulung iki mengko diresiki yo!’. Arep tak jawab,’niki wau sampun diresiki’, mengko mesti dijawab sing luwih duwur karo diomongi; malah dadi dhawa perkarane. Dadi nak aku dikongkon apa yo angger mangkat. Aku karo takmir kene ora sering ngobrol. (terus terang saja Mas, di sini harus kuat mental dan segalanya. Soalnya, takmir di sini kebanyakan berlatar belakang militer, banyak purnawirawan militer. Jadi wataknya keras-keras. Kalau diminta ‘tolong ini nanti dibersihkan ya!’. Mau jawab ‘tadi sudah dibersihkan’, nanti pasti dijawab yang lebih tinggi dan sambil diomongi, malah jadi panjang perkaranya. Jadi kalau diminta apa saja, saya jalankan. Aku jarang ngobrol dengan para takmir di sini),” paparnya.

Cerita lainnya datang dari primus musola Singosari. Ia adalah Muhammad Kholiq Anshori, biasa disapa Kholiq. Kuliah di DIII Inggris angkatan 2001, Fakultas Sastra, Undip. Alasannya menerima tawaran di mushola tersebut adalah ingin menambah pengetahuan agama Islam.

“Kebetulan kebanyakan dari kami mempunyai background yang sama yaitu pernah belajar di pondok pesantren. Kita bisa diskusi bersama tentang hal apa pun yang bisa memperluas pengetahuan kita,” ucapnya.

Pertama kali jadi takmir mushola itu karena tawaran dari temannya. Mengenai hubungannya dengan masyarakat, ia berkomentar. “Masyarakat lingkungan Singosari cukup menganggap keberadaan kami. Tapi mereka tipe masyarakat yang cuek dan banyak dari mereka adalah non muslim. Jadi mereka tidak terlalu mempermasalahkan status dan peran kami,” ungkapnya.

Untuk mempererat tali silaturrahmi, biasanya mereka sering ngobrol dan kadang mengunjungi rumah para warga sekitar. Primus mushola Singosari juga menerima anak-anak yang ingin belajar mengaji di mushola.

Kholiq menghargai primus yang punya pandangan lain mengenai interaksi dengan masyarakat, khususnya dengan lawan jenis. Ia sendiri tak merasa terlalu kaku dalam bersosialisasi dengan lawan jenis. Dengan sedikit malu-malu, ia mengaku seperti manusia biasa yang menginginkan jalinan hubungan dengan lawan jenis.
“Pernah terlintas keinginan seperti itu, tapi saya tahu batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Ya, kita bertindak sewajarnya dan tidak melenceng dari jalurnya,” jawabnya sambil tersenyum simpul.

Pandangan yang berbeda diutarakan oleh Muhammad Yunus. “Saya bisa bergaul dengan masyarakat kampus dengan apa adanya tapi ada batasannya. Misalnya dengan lawan jenis. Di kampus memang tidak memakai hijab (pembatas, Red) tapi saya berusaha menjaga hati saya. Ini memang membutuhkan perjuangan untuk mengkondisikan seperti dalam syariat Islam. Kita yang harus mengkondisikan keadaan bukan keadaan yang mengkondisikan kita. Teman-teman yang sudah tahu, secara otomatis tahu bagaimana seharusnya bersikap. Di masjid atau di ruangan lain mereka akan segera memakai hijab tanpa harus diberitahu. Memang sulit jika masyarakat tidak tahu dan tidak mau tahu tentang syariat islam,” jelasnya.

Mahasiswa Sastra Inggris angkatan 2002 Undip ini, kemudian mengenang awal mula ia menjadi seorang primus. “Awalnya saya tinggal di masjid karena ajakan teman dan kebetulan saya sendiri pun menginginkannya. Saya memilih tinggal di masjid karena kita bisa langsung berinteraksi dan dekat dengan masyarakat. Kita ingin membangun muamalah (hal-hal yang ada kaitannya dengan urusan sosial kemasyarakatan, Red) dengan masyarakat,” ungkap Yunus, pemuda asal Indramayu ini.

Alasannya memutuskan untuk mengabdi di masjid tak serta merta faktor lingkungan. “Faktor lingkungan memang berpengaruh pada diri saya tapi faktor internal pun sudah ada sejak kecil yaitu pencarian Tuhan yang sesungguhnya. Tapi semenjak berada di sini saya pun berpikir tidak hanya ibadah kepada Allah, tapi dengan membangun muamalah dengan masyarakat. Di masjid Baitunnaim, Pleburan, remaja masjid sering mengadakan kegiatan keagamaan misalnya diskusi, pengajian, dll,” jelasnya.

Primus juga seperti manusia biasa. Perasaan naluriahnya sama dengan yang lain. Tapi, ketika citra sebagai sosok alim yang berusaha melakukan sesuatu sesuai syariat melekat pada diri mereka, benarkah primus tak ada keinginan untuk menjalin hubungan “khusus” dengan lawan jenisnya?

Bila Wahyu Hidayat belum berani pacaran, Syahrizal Faza mengatakan tidak untuk pacaran. Beda lagi dengan primus yang satu ini. Namanya Winarno Jatiwibowo, akrab dipanggil Win. Ia mahasiswa D III FISIP Undip angkatan 2002. Remaja Masjid Diponegoro ini secara blak-blakan mengaku telah menjalin hubungan dengan seorang gadis semenjak semester tiga.

“Tidak masalah bagi seorang remaja masjid untuk pacaran dengan seorang cewek. Asalkan niatnya bagus. Saya pun biasa dengan teman cewek dan bahkan ada yang sering telepon. Saya bisa mengatakan pacaran dengan definisi saya sendiri. Pacaran di sini bukan berarti mengumbar nafsu dan melakukan hal-hal tidak diperbolehkan dalam agama. Tapi pacaran bagi saya adalah hubungan saling mengenal pasangannya,” terangnya dengan berapi-api.

Yang agak mengejutkan, ia dan kekasihnya biasanya bertemu di masjid. Lantas bagaimana sikap pengurus lain?

“Tidak ada yang pernah menegur ketika saya pacaran, karena saya pun tidak berbuat macam-macam. Kalau pun kami bertemu dan ngobrol, itu dilakukan bukan di tempat yang sepi. Saya kira sebagai manusia biasa mereka juga ingin berhubungan dengan seorang gadis,” ucapnya blak-blakan.

Bagi Win, beda pendapat soal agama, tak masalah. Ia mengaku dapat ilmu agama dari keluarga dan akan diterapkan dalam kehidupannya.

“Saya menjalankan ibadah sesuai dengan ilmu yang saya peroleh dari rumah. Terserah bagi pengurus lain yang punya cara yang berbeda. Di sini ada berbagai macam golongan, tidak didominasi oleh kelompok tertentu. Saya pun tidak mungkin menerapkan ajaran di sini ketika berada di rumah karena lingkungan saya berbeda dengan di sini,” jelasnya.

Hidup di lingkungan masjid atau mushola tak lepas dari interaksi kehidupan duniawi. Saat itulah syariat dipertaruhkan. Keragaman cara pandang primus terhadap fenomena kehidupan itu menjadi bagian dari sisi lain kehidupannya. Kehidupan layaknya kodrat seorang manusia, seperti pada umumnya.****

3 thoughts on “Ketika Syariat Dipertaruhkan

  1. Good design!
    [url=http://tccrzzth.com/ptaq/hoet.html]My homepage[/url] | [url=http://fzrsnprx.com/zutp/drbb.html]Cool site[/url]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top